Memahami Konsep Alam Melayu Bukan Hanya Sebagai Wilayah Geografi, Tetap Sebagai Ruang Tamaddun Yang Dinamis
Dalam konteks ini, bahasa dan kesusasteraan tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling mendukung dan memperkuat satu sama lain. Bahasa menyediakan medium, sedangkan kesusasteraan memberi isi. Seperti dijelaskan oleh Harun Mat Piah (1991) dalam bukunya Teori dan Kritikan Sastera, kesusasteraan Melayu klasik menyajikan gambaran menyeluruh tentang nilai, norma, dan pandangan hidup bangsa Melayu.
Esensi dari pembahasan Bahasa dan Kesusasteraan
Melayu terletak pada fungsinya sebagai sarana transmisi nilai-nilai budaya,
kepercayaan, dan falsafah hidup masyarakat Melayu. Bahasa Melayu telah
berfungsi sebagai bahasa perdagangan, bahasa ilmu, dan bahasa kesusasteraan
selama berabad-abad. Ia digunakan untuk menyampaikan hikmah, ajaran moral, dan
adat yang menjadi tunjang dalam kehidupan berbangsa.
Menurut Nik Safiah Karim dalam Tatabahasa
Dewan (2008), bahasa Melayu memiliki struktur yang halus dan penuh sopan
santun, mencerminkan sifat masyarakatnya yang menjunjung tinggi nilai
kesantunan. Ini juga tergambar dalam kesusasteraan Melayu seperti pantun dan
syair yang sarat nilai-nilai moral, estetika, dan didaktik.
Kesusasteraan Melayu sering kali mengangkat
tema-tema tentang ketuhanan, kepahlawanan, pengorbanan, dan kebijaksanaan.
Misalnya, dalam Hikayat Hang Tuah, pembaca diajak merenungi makna
loyalitas, keberanian, dan patriotisme dalam kerangka budaya Melayu. Ini
menunjukkan bahwa kesusasteraan Melayu tidak hanya menghibur tetapi juga
mendidik.
Bahasa dan Kesusasteraan Melayu adalah cerminan nilai-nilai Tamadun Melayu. Tamadun Melayu dibentuk oleh nilai-nilai keagamaan, adat istiadat, sistem kekeluargaan, dan struktur sosial yang kompleks. Semua ini diungkapkan dalam bentuk bahasa dan kesusasteraan.
Satu contoh nyata adalah penggunaan simbolisme
dalam pantun dan peribahasa. Menurut buku Pantun Melayu: Interpretasi Budaya
dan Estetika oleh Muhammad Haji Salleh (2010), pantun mencerminkan
pemikiran masyarakat Melayu yang penuh dengan kiasan dan perlambangan. Ini
menunjukkan kehalusan budi dan kebijaksanaan dalam menyampaikan pesan. Nilai
sopan santun, kesetiaan, dan rasa hormat kepada yang lebih tua atau pemimpin,
adalah nilai-nilai inti dalam budaya Melayu yang dilestarikan melalui bahasa
dan kesusasteraan.
Selain itu, kesusasteraan Melayu juga menjadi
dokumentasi sejarah dan ketamadunan itu sendiri. Naskhah seperti Hikayat
Raja Pasai, Sulalatus Salatin, dan Tuhfat al-Nafis adalah
sumber sejarah dan tamadun yang penting. Mereka bukan sekadar karya sastra,
melainkan juga arsip budaya dan sejarah yang mencatat perkembangan politik,
sosial, dan agama masyarakat Melayu.
Dalam era globalisasi dan digitalisasi, pertanyaan besar muncul: masihkah bahasa dan kesusasteraan Melayu relevan? Jawabannya adalah: sangat relevan. Justru di tengah gempuran budaya asing, pelestarian bahasa dan kesusasteraan Melayu menjadi penting untuk mempertahankan identitas nasional dan jati diri bangsa.
Menurut Abd. Razak Manaf dalam jurnal Bahasa
dan Kesusasteraan Melayu dalam Pembinaan Tamadun Bangsa (Jurnal Pengajian
Melayu, 2016), bahasa dan kesusasteraan Melayu merupakan alat pembinaan bangsa
yang berkesan kerana ia mengakar kepada warisan budaya yang telah terbukti
kukuh.
Anak-anak muda Melayu perlu dikenalkan kembali
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kesusasteraan Melayu, baik melalui
pendidikan formal maupun informal. Inisiatif seperti pengenalan kembali karya
klasik di kurikulum sekolah, festival sastra, atau digitalisasi naskhah lama
merupakan upaya yang harus terus didorong.
Teknologi juga dapat menjadi alat untuk
mengangkat kembali bahasa dan kesusasteraan Melayu. Misalnya, penggunaan media
sosial, podcast, dan platform digital lainnya bisa digunakan untuk membacakan
pantun, mementaskan hikayat, atau membincangkan nilai-nilai Melayu dalam
konteks masa kini. Hal ini memungkinkan penyebaran nilai-nilai Tamadun Melayu
kepada generasi muda dengan pendekatan yang sesuai dengan zaman.
Sebagai generasi yang hidup di era informasi, saya merasa pelajaran tentang bahasa dan kesusasteraan Melayu sangat membuka mata terhadap kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Melayu. Pembelajaran ini bukan hanya soal menghafal karya-karya lama, tetapi juga menyelami nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Saya percaya bahwa pemahaman terhadap bahasa
dan kesusasteraan Melayu memberikan kontribusi langsung terhadap pembentukan
karakter. Ketika membaca pantun, saya belajar berpikir secara halus dan tidak
langsung. Ketika membaca hikayat, saya belajar tentang pentingnya integritas,
keberanian, dan kebijaksanaan.
Saya juga menyadari bahwa tanpa upaya
pelestarian yang serius, bahasa dan kesusasteraan Melayu dapat terkikis oleh
arus globalisasi. Oleh karena itu, sebagai generasi muda, saya merasa
bertanggung jawab untuk turut memelihara warisan ini—baik dengan mempelajarinya
secara mendalam, maupun dengan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa dan Kesusasteraan Melayu bukanlah topik yang hanya relevan untuk pengkajian akademik. Ia adalah denyut nadi Tamadun Melayu, tempat berkumpulnya nilai-nilai budaya, pandangan hidup, serta identitas kolektif bangsa Melayu. Melalui bahasa dan kesusasteraan, kita memahami jati diri kita, menghargai masa lalu, dan membina masa depan yang lebih kukuh dalam kerangka budaya sendiri.
Upaya pelestarian, pendidikan, dan digitalisasi
bahasa serta kesusasteraan Melayu harus terus digalakkan agar warisan ini tidak
hilang ditelan zaman. Dan sebagai anak bangsa, kita semua memiliki peran dalam
memastikan kesinambungan warisan tamadun yang agung ini.
Referensi
- Harun Mat Piah. (1991). Teori dan Kritikan Sastera. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
- Zakaria, Haji Ahmad. (2015). Kesusasteraan Melayu Tradisional dan Pembentukan Modal Insan. Jurnal Pengajian Melayu.
- Nik Safiah Karim et al. (2008). Tatabahasa Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
- Muhammad Haji Salleh. (2010). Pantun Melayu: Interpretasi Budaya dan Estetika. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia.
- Abd. Razak Manaf. (2016). Bahasa dan Kesusasteraan Melayu dalam Pembinaan Tamadun Bangsa. Jurnal Pengajian Melayu.
Penulis merupakan seorang mahasiswa Program Studi Akutansi Syariah. Penulis sering di kenal dengan panggilan Sinta, Nama Panjang dari penulis yaitu sinta belila. saat ini menjalankan perkuliahan di kampus Institut Syariah Negeri Junjungan Bengkalis yang sedang menempuh mata kuliah Alam dan Tamadun Melayu. Memiliki minat yang tinggi terhadap warisan budaya Melayu, khususnya dalam aspek busana tradisional dan simbolisme adat. Melalui tulisan ini, penulis ingin menggugah kesadaran generasi muda akan pentingnya memahami serta melestarikan pakaian dan destar Melayu sebagai bagian dari jati diri dan tamadun bangsa.
bagus tulisannya, jwb no 2 jangan luoa.
BalasHapus